Minggu, 29 September 2013

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Nusa Tenggara Timur untuk Menciptakan Tenaga Kerja yang Produktif

PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari besarnya tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya. Pada tahun 2011, pendapatan perkapita masyarakat NTT pada tahun 2011 atas dasar harga berlaku sebesar RP 6.073.767 hanya seperenam pendapatan per kapita rata – rata nasional yakni sebesar Rp 35.807.778. Angka ini menempatkan provinsi NTT berada pada posisi 32 dari 33 provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat tentu dipengaruhi oleh besarnya pendapatan yang diperoleh masing-masing tenaga kerja, sedangkan tingkat upah yang dibayarkan perusahaan dipengaruhi oleh kegiatan produksinya. Upah jika dipandang dari sisi tenaga kerja merupakan pendapatan sedangkan dari sisi pengusaha, upah merupakan biaya produksi. Jadi, pengusaha akan memberikan upah yang tinggi jika jumlah dan mutu produk yang dihasilkan tinggi, sebaliknya upah yang diberikan rendah jika jumlah dan mutu produk yang dihasilkan rendah. Selain itu, pengusaha tentu menginginkan minimisasi biaya untuk output yang maksimal, oleh karena itu, permintaan akan tenaga kerja akan ditekan dengan memilih tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi pengetahuan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan. Akibatnya, jika tenaga kerja tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut, maka akan terdapat kelebihan dari sisi penawaran tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan banyaknya tenaga kerja yang mau bekerja dengan upah yang kecil. Keadaan ini berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan secara langsung mengurangi kemampuan ekonomi masyarakat untuk dapat hidup sejahtera.


2. Rumusan Masalah

Adapun situasi yang telah diuraikan diatas menimbulkan beberapa pertanyaan yang merupakan rumusan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini, yakni :
1. Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Nusa Tenggara Timur ?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur ?
3. Bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja agar mempunyai nilai produktif ?


3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Agar kita mengetahui kondisi ketenagakerjaan di NTT baik dari segi permintaan maupun penawarannya.
2. Agar kita mengetahui factor-faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas tenaga kerja di NTT.
3. Agar kita mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki tenaga kerja agar lebih produktif.


4. Manfaat

Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait, untuk dapat mengetahui situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan untuk lebih lebih meningkatkan kepekaan dalam memutuskan tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan di NTT.




KAJIAN PUSTAKA


Tenaga kerja (man power) adalah penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.. Angkatan Kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk tidak terlibat, dalam kegiatan produktif yaitu produksi barang dan jasa. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menggambarkan jumlah angkatan kerja dalam suatu kelompok umur sebagai persentase penduduk dalam kelompok umur tersebut (Anonim, 2012).
Didalam diri seorang manusia terdapat modal yang disebut sebagai sumber daya manusia. Sumber Daya manusia adalah manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi. Sumber daya manusia merupakan potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya (Hadari, 2011).
Pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas kerja (Payaman, 2001).
Dalam teori human capital berasumsi bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, di satu pihak meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, akan tetapi, di pihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Pendidikan yang lebih tinggi mengakibatkan produktivitas kerja yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, memungkinkan penghasilan yang lebih tinggi juga. Perbedaan tingkat upah sesungguhnya tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan saja, tetapi juga oleh beberapa faktor lain seperti pengalaman kerja, keahlian, sektor usaha, jenbis usaha, lokasi dan lain sebagainya (Payaman, 2001).
Dayuh Rimbawan, dalam tulisannya mengemukakan bahwa produktivitas per pekerja yang rendah identik dengan penghasilan yang rendah pula. Pengukuran produktivitas per pekerja per lapangan usaha akan memberikan gambaran besarnya penghasilan senyatanya yang diterima pekerja pada masing-masing lapangan usaha. Berbeda dengan pendapatan perkapita yang menggambarkan rata-rata yang diterima penduduk tanpa memperhatikan umurnya. Dengan kata lain semua penduduk di suatu wilayah mempunyai pendapatan. Pendapatan perkapita tidak menggambarkan bagaimana distribusi pendapatan antar kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan produktivitas per pekerja paling tidak dapat menggambarkan pendapatan per pekerja menurut lapangan usaha. Produktivitas per pekerja diperoleh dengan membagi nilai tambah yang tercipta pada masing-masing lapangan usaha pada satu tahun tertentu dengan banyaknya pekerja yang terserap di dalamnya pada tahun yang sama (Dayuh Rimbawan, 2010).


METODOLOGI PENULISAN


Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kepustakaan atau telaah pustaka. Materi tulisan ini berasal dari hasil telaah pustaka antara lain dari buku-buku dan dari jurnal yang dipilih sesuai dengan topik penulisan. Literatur-literatur yang digunakan merupakan literatur-literatur yang bersifat primer (buku, jurnal) dan sekunder (text book, internet). Tulisan ini juga menggunakan metode kualitatif dengan menampilkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik NTT.
Permasalahan yang menjadi dasar dalam penulisan karya ilmiah ini timbul setelah diketahui bahwa terjadi penurunan produktivitas tenaga kerja di NTT yang disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Sedangkan usaha pemecahan masalahnya dilakukan dengan mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Telaah pustaka tersebut kemudian dituangkan menjadi sebuah karya tulis yang merupakan hasil pemeikiran kritis mahasiswa terhadap masalah ketenagakerjaan tersebut. Sehingga diperoleh kesimpulan yang diharapkan dapat berkontribusi dalam kehidupan masyarakat.

PEMBAHASAN


1. Keadaan Ketenagakerjaan di Nusa Tenggara Timur.

Secara umum, kondisi ketenagakerjaan di NTT tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, adalah dalam kondisi yang sama dengan karakteristik lapangan kerja yang dualistic (formal dan informal), tingkat pengangguran yang cenderung tinggi dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Kualitas tenaga kerja dicerminkan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Kualitas yang tinggi jika dipadukan dengan penggunaan teknologi yang sesuai akan mengarah pada produktivitas yang tinggi pula.
Dalam pasar tenaga kerja di NTT sendiri, tingkat partisipasi angkatan kerja tidak cukup tinggi dan berfluktuasi bahkan pada tahun 2011 turun ke angka 71,72%. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang yang aktif di pasar kerja 72 diantaranya bekerja sedang sisanya 28 orang adalah pencari kerja (penganggur).

Pengangguran terjadi disebabkan antara lain yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja serta kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Keadaan yang demikian menyebabkan banyak penduduk NTT memilih untuk bekerja di sektor informal dibandingkan sector formal. Hal ini sangat irrasional karena orang cenderung memilih pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa perlindungan sosial dibandingkan dengan pekerjaan yang produktif dan dengan jaminan sosial yang memadai. Dampaknya adalah bahwa banyak masyarat NTT yang berprofesi sebagai pekerja kasar atau buruh dengan upah yang sangat rendah.
Keputusan seseorang untuk melibatkan diri dalam angkatan kerja tidak semata-mata dipengaruhi oleh suatu tingkat upah tertentu, melainkan juga oleh keinginannya untuk memiliki lebih banyak waktu non-kerja (leisure time) untuk dapat bersenang-senang atau bersantai. Asumsinya bahwa seseorang dengan waktu kerja lebih lama akan memiliki penghasilan yang lebih banyak pula. Apabila ia memilih untuk memiliki banyak waktu luang maka ia akan kehilangan banyak penghasilan pula. Dengan demikian ada trade-off antara waktu luang dengan pendapatan.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan keadaan rata-rata upah propinsi NTT tahun 2011 dan rata-rata upah 5 tahun yang lalu. Dari tabel 2 dapat kita lihat bahwa rata-rata upah tahun 2011 telah naik sebesar 61% dari rata-rata upah pada tahun 2006.


Dengan melihat angka rata-rata tersebut dapat kita lihat bahwa UMR NTT telah meningkat sebesar 40% dari tahun 2006 dan menunjukkan masyarakat NTT sudah memiliki penghasilan di atas angka kebutuhan hidup layak. Artinya, bahwa upah yang diterimanya sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup layaknya di NTT. Angka UMR NTT tahun 2011 jika dibandingkan dengan rata-rata UMR propinsi lainnya di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Iran) yang banyak menembus angka Rp 1.000.000, masih sangat rendah. Masih rendahnya UMR berpengaruh pada tingkat upah. Banyak pengusaha berlaku curang dengan memberikan upah dibawah UMR yang telah ditetapkan. Hal ini menyebabkan pekerja tidak dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan secara tidak langsung berdampak pada produktivitas kerjanya.


2. Faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur
Seperti yang telah disebutkan di bagian awal bahwa kualitas tenaga kerja dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki seseorang yakni pendidikan dan keterampilan. Daerah Nusa Tenggara Timur masih merupakan kategori daerah miskin sehingga pendidikan belum tersebar merata. Keadaan geografis dan ekonomi menjadi penyebab utama sulitnya pendidikan menjangkau ke seluruh pelosok. Tingkat pendidikan yang rendah merupakan cerminan dari kemiskinan. Oleh karenanya, masih banyak masyarakat NTT yang bekerja sebagai buruh kasar dengan upah yang rendah karena kurangnya pengetahuan. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2011 : 


Tenaga kerja yang bekerja di NTT sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebanyak hampir 80% merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah yakni hanya sebatas pada jenjang SMP. Sedangkan sisanya sebesar 20% merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sampai jenjang SMA/SMK dan Universitas. Hal ini tentu akan berpengaruh pada produktivitas kerja yang dapat tercermin dari tingkat penghasilan. Kehadiran lembaga pendidikan formal sangat penting untuk menunjang pendidikan di NTT untuk dapat menghadirkan lulusan yang punya pengetahuan dan keterampilan yang dapat menunjang kerjanya.
Kualitas tenaga kerja yang rendah juga dipengaruhi oleh faktor keterampilan (kemampuan). Kemampuan disini dibedakan atas dua yakni soft skill yang didapat melalui proses belajar baik formal maupun non-formal dan kemampuan fisik dengan indikatornya kesehatan. Keduanya saling menunjang satu sama lain. Fisik yang sehat akan mendorong kerja otak lebih maksimal, sebaliknya pnegetahuan dan pengalaman akan memacu kerja fisik lebih efektif. Sebagai daerah miskin, masyarakat NTT belum sepenuhnya mampu memenuhi kedua kemampuan ini, baik untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi seimbang maupun kebutuhan akan ilmu dan pengalaman.
Selain kedua faktor tersebut, penyebab rendahnya kualitas tenaga kerja masyarakat NTT juga dipengaruhi oleh rendahnya etos kerja. Etos kerja atau disebut sebagai semangat kerja, didalamnya terdapat semangat dan kedisiplinan dalam bekerja. Seseorang yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan yakin dengan apa yang dilakukannya akan mengarah kepada produktivitas yang tinggi. Berbeda dengan tenaga kerja yang didatangkan dari luar, misalnya dari pulau Jawa, yang memiliki semangat kerja yang tinggi, disiplin, ulet serta penuh rasa tanggung jawab dalam bekerja, tenaga kerja dari NTT tidak memiliki cukup dedikasi untuk pekerjaan yang dilakukannya. Padahal, saat ini para pengusaha lebih memilih untuk memberikan pekerjaan kepada orang yang mampu menyelesaikan pekerjaan dalam waktu singkat dan dengan kualitas hasil yang baik atau dengan kata lain orang dengan produktivitas tinggi. Pengusaha tidak memikirkan upah yang tinggi sebagai suatu pengeluaran, melainkan sebagai suatu biaya produksi. Jadi, pengusaha akan membebankan biaya tersebut kepada konsumen yang menggunakan produknya. Karena itulah, pengusaha lebih memilih untuk membayar mahal dengan jangka waktu pengembalian yang singkat daripada membayar murah dengan pengembalian yang cenderung lama.


3. Upaya-upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur

Menyadari situasi yang akan melemahkan perekonomian masyarakat NTT, maka perlu ada tindakan yang harus segera dilakukan untuk menekan penggunaan tenaga kerja dari luar daerah. Peningkatan kualitas tenaga kerja dirasa sangat perlu dilakukan, mengingat, beberapa point di atas merupakan faktor yang memperburuk keadaan masyarakat. Jika tidak segera diatasi maka tidak dipungkiri suatu saat tenaga kerja dari NTT tidak dapat bersaing di pasar tenaga kerja lokal maupun nasional. Akibatnya, terdapat banyak pengangguran yang akan berdampak pada buruknya kondisi perekonomian wilayah NTT. Upaya pemerintah dan masyarakat sudah banyak dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Namun belum dapat menekan tingginya tingkat pengangguran. Rendahnya kualitas tenaga kerja masih menjadi hal penting yang harus dibenahi. Keadaan ketidaksesuaian antara kualifikasi pencari kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan penyedia kerja dan rendahnya keahlian akan berdampak pada lambannya peningkatan produktivitas kerja. Perusahaan mempunyai tujuan optimalisasi produksi sedangkan tenaga kerjanya tidak dapat mendukung kebijakan perusahaan menyebabkan perusahaan tidak dapat mengembangkan dirinya. Perlu campur tangan banyak pihak untuk dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah misalnya, perlu memberikan investasi di bidang pendidikan dan pelatihan guna peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pemerintah harus lebih menekankan pencapaian di bidang pendidikan formal, sebab pendidikan dan pelatihan akan meningkatkan keterampilan pekerja, sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan pula pendapatan pekerja. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan hubungan korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dengan produktivitas kerja. Ardy dan Mursidi, melalui penelitiannya menunjukkan ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan pekerja dengan produktivitas yang dihasilkannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula produktivitasnya. Selain peningkatan pendidikan dan keterampilan, pemberian kesempatan kerja juga perlu dilakukan agar pekerja dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam bekerja. Dengan kesempatan kerja yang terbuka luas, seseorang dapat menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya secara maksimal. Dengan demikian, rasa percaya diri dengan sendirinya akan tumbuh karena pengalaman kerja tersebut. Semakin tinggi pengalaman kerja maka tingkat keahliannya pun semakin baik. Dan pada akhirnya, meningkatkan produktivitas kerja. Selain kedua hal itu, perbaikan gizi dan kesehatan juga sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja. Perbaikan dan peningkatan di bidang kesehatan masyarakat biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi penyediaan fasilitas kesehatan selalu terbatas karena dana pemerintah. Oleh karenanya, usaha perbaikan gizi dan kesehatan tidak mungkin hanya dibebankan kepada pemerintah saja. Masyarakat, khususnya perhatian dari pengusaha juga perlu dalam mengatasi hal ini. Caranya adalah dengan memperbaiki sistem pengupahan agar cukup dan wajar untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja. Karena, rendahnya tingkat gizi kesehatan disebakan oleh rendahnya tingkat penghasilan.
Dari sisi internal, tenaga kerja sendiri hendaknya meningkatkan etos kerja karena berdampak positif pada produktivitasnya. Ketekunan dan semangat juang yang tinggi akan mendorong pekerja untuk mengembangkan diri dan memaksimalkan dayanya untuk bekerja. Kerja keras ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

PENUTUP


1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
a. Kondisi ketenagakerjaan di NTT masih sangat memprihatinkan, dilihat dari tingginya tingkat pengangguran karena ketidaksesuaian tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan perusahaan dan rendahnya upah akibat mimimnya produktivitas.
b. Pendidikan dan keterampilan merupakan human capital dalam pasar kerja, oleh karena itu tenaga kerja di NTT perlu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan.
c. Selain pendidikan dan keterampilan, produktivitas tenaga kerja juga didukung oleh tingkat gizi dan kesehatan, serta etos kerja.


2. Saran

Peningkatan produktivitas tenaga kerja akan memberikan dampak positif terhadap pendapatan. Oleh karena itu, investasi di bidang pendidikan dan keterampilan serta peningkatan gizi dan kesehatan perlu dilakukan sehingga dapat tercipta kondisi yang mendukung seseorang untuk dapat bekerja secara maksimal. Dengan demikian, akan tercipta sumber daya manusia NTT yang lebih berdaya saing dan produktif tidak hanya di daerah NTT namun juga di tingkat nasional dan global.

Kedaulatan Pangan Kunci Menuju Ketahanan Pangan

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Hak atas pangan merupakan bagian penting dari hak asasi manusia. Pada KTT Pangan Sedunia tahun 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua Negara anggota separuhnya, dari 800 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 400 juta jiwa pada tahun 2015 (Wikipedia Indonesia).

Tingkat ketergantungan pangan terhadap produksi domestic (tingkat kemandirian pangan) Indonesia cukup baik. Namun, ketahanan pangan secara nasional yang cukup baik ini tidak mampu menggambarkan tingkat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individual yang sangat beragam menurut wilayah, kelas ekonomi, antar berbagai jenis pekerjaan, dan lain-lain. Sekalipun ketahan pangan di tingkat nasional dapat dicapai, pada kenyataannya ketahanan pangan di beberapa daerah tertentu dan ketahanan pangan di banyak keluarga masih sangat rentan. Beberapa hasil kajian menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Tidak ada satu pun jenis bahan pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI (Martianto, 2005).


Ancaman kelangkaan pangan ini juga dapat disebabkan keadaan iklim yang tidak menentu (Benu, 2010). Pengaruhnya terdapat pada aspek produksi pangan yang mengalami penurunan produktivitas. Sebagai salah satu factor penentu produksi, iklim mempengaruhi banyak aspek dalam produksi pertanian, mulai dari penyiapan lahan sampai pada pasca panen. Kondisi iklim akan sangat menentukan produksi yang akan mempengaruhi ketersediaan pangan.


Di Indonesia, indikator kelangkaan pangan dapat dilihat dari meningkatnya nilai impor bahan makanan kebutuhan pokok. Banyak bahan pangan pokok termasuk beras yang diimpor dari luar negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan masayakat akan konsumsi beras. Padahal, pangan pokok Indonesia tidak hanya beras yang diolah menjadi nasi. Ada banyak bahan pangan lain yang dapat digunakan sebagai pengganti nasi. Indikator kelangkaan pangan tidak sebatas nilai impor, fakta tingginya kasus busung lapar dan kekurangan gizi turut menjadi cermin kelangkaan pangan di negeri ini. Kekurangan gizi yang disebabkan kondisi kurang pangan menyebabkan terjadi masalah kesehatan seperti marasmus karena keadaan konsumsi pangan yang sangat kurang di daerah-daerah pelosok. Untuk mengatasi kondisi kekurangan pangan dapat dilakukan dengan peningkatan produksi pertanian, serta pemanfaatan sumber daya local untuk dikonsumsi.


Perumusan Masalah

Adapun situasi yang telah diuraikan diatas menimbulkan beberapa pertanyaan yang merupakan rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ini, yakni :
Seberapa pentingkah pangan ?
Bagaimana kondisi ketahanan pangan di Indonesia ?
Bagaimana kaitan kedaulatan pangan dengan ketahanan pangan?
Bagaimana hubungan ketahanan pangan dengan ketahanan nasional ?
Bagaimana strategi menciptakan ketahanan pangan ?


Uraian Singkat

Fokus penulisan karya ilmiah ini menekankan akan pentingnya kedaulatan pangan, dimana masyarakat di suatu wilayah perlu untuk memutuskan bagaimana memenuhi kebutuhan akan pangan dengan kekuatan sendiri, memanfaatkan sumber daya lokal sebagai bentuk diversifikasi pangan yang mendukung program pemerintah menciptakan kondisi ketahanan pangan dan ketahanan nasional.


Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
Agar kita mengetahui fungsi dan peran pangan bagi kehidupan kita.
Agar kita mengetahui kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
Agar kita mengetahui arti kedaulatan pangan serta perannya dalam ketahanan pangan.
Agar kita mengetahui hubungan ketahan pangan dengan ketahanan nasional.
Agar kita mengetahui strategi-strategi yang dapat digunakan dalam pencapaian ketahanan pangan.


Manfaat Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait, untuk dapat mengetahui situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan untuk lebih lebih meningkatkan kepekaan dalam memutuskan tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan di Indonesia, serta sebagai ajang mengasah kemampuan penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah.

TELAAH PUSTAKA


Pangan adalah semua bahan makanan termasuk hasil olahannya yang dapat dimakan, diminum, dan bermanfaat bagi kesehatan (tidak termasuk obat-obatan). Makanan ialah semua bahan hasil olahan pangan yang dapat dimakan, diminum, dan bermanfaat bagi kesehatan (tidak termasuk obat-obatan) (Depkes RI, 1992) (Seran dan Suek, 2012).


Thomas Robert Malthus (1766-1831) mengemukakan bahwa produksi bahan makanan mempunyai tendensi meningkat secara aritmatik atau deret hitung, sedangkan populasi manusia meningkat secara geometric atau deret ukur. Dengan demikian penduduk bertambah lebih cepat dibandingkan persediaan bahan makanan.


Pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi manusia. Pangan berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan kelangsungan hidupnya, menjaga kesehatan serta berguna untuk mendapatkan energi yang cukup untuk dapat bekerja secara produktif. Kekurangan pangan akan menyebabkan kurangnya asupan gizi dan menyebabkan kualitas sumber daya manusia menurun sehingga produktifitas pun menurun.


Ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapat prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Ketahanan pangan adalah suatu kondisi yang memenuhi dua aspek sekaligus, yang pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk, dan yang kedua, seluruh penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi duna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari (Suek dan Seran, 2012).


Menurut Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1996 tentang pangan, menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Komponen ketahanan pangan meliputi: a) kecukupan ketersediaan pangan, b) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, c) aksesibilitas terhadap pangan, dan d) keamanan pangan. Ketersediaan pangan di rumah tangga sangat tergantung pada hasil pertaniannya dan dapa yang dibeli di pasar.. Jenis pangan apa yang dibeli dari pasar ditentukan dari beberapa factor seperti pengetahuan ibu rumah tangga dalam hal pangan dan gizi, kebiasaan makan, dan nilai-nilai social budaya yang dianut di rumah tangga (Departemen Pertanian, 1996). Stabilitas ketersediaan pangan yang dimaksud adalah merupakan kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan ( 3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indicator kecukupan pangan. Aksesibilitas dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses berdasarkan kepemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 kategori yakni akses langsung jika memiliki lahan dan akses tidak langsung jika tidak memiliki lahan (menyewa, bagi hasil). Keamanan pangan terkait dengan kualitas pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.


Ketahanan pangan sangat penting untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Keberhasilan pemenuhan kebutuhan pangan pokok beras telah berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional yang erat kaitannya dengan ketahanan social, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional. Selain beras, perwujudan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan pemanfaatan sumber daya lokal, karena sangat strategis untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan di seluruh wilayah. Sumber daya local atau yang biasa disebut pangan local merupakan bentuk diversifikasi pangan yang bertujuan menciptakan kondisi wilayah yang tahan pangan dengan mengandalkan kekuatan sendiri.


Diversifikasi pangan menurut Suhardjo (1998) adalah mencakup tiga pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan (Aswar, 2009).

METODE PENULISAN


Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kepustakaan atau telaah pustaka. Materi tulisan ini berasal dari hasil telaah pustaka antara lain dari buku-buku dan dari jurnal yang dipilih sesuai dengan topik penulisan. Literatur-literatur yang digunakan merupakan literatur-literatur yang bersifat primer (buku, jurnal, paper/makalah) dan sekunder (text book, internet). Tulisan ini juga menggunakan metode kuantitatif dengan menampilkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik NTT. Adapun data-data yang digunakan antara lain data produksi bahan pangan pokok tahun 2008 – 2010 dan data jumlah penduduk NTT Tahun 2010.


Permasalahan yang menjadi dasar dalam penulisan karya ilmiah ini timbul setelah diketahui bahwa terjadi penurunan kondisi tahan pangan di Indonesia yang disebabkan karena rendahnya produksi dan akses yang dimiliki. Sedangkan usaha pemecahan masalahnya dilakukan dengan mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Telaah pustaka tersebut kemudian dituangkan menjadi sebuah karya tulis yang merupakan hasil pemikiran kritis mahasiswa terhadap masalah ketahanan pangan tersebut. Sehingga diperoleh kesimpulan yang diharapkan dapat berkontribusi dalam kehidupan masyarakat.

ANALISIS DAN SINTESIS


Pentingnya Pangan

Pangan adalah komoditas strategis karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis secara ekonomi tetapi juga sangat berarti dari segi pertahanan dan keamanan, social, dan politis (Hasan, 1998) (Aswar, 2009). Berbagai bahan pangan berperan sebagai wahana (pembawa) zat gizi. Manusia memperoleh kebutuhan zat gizi pentingnya dari bahan pangan nabati dan hewani. Biokimia tanaman, hewan, dan manusia mempunyai banyak persamaan. Karena itu manusia membutuhkan komponen pembangun tubuh yang sama seperti yang terkandung dalam tanaman dan hewan. Contoh bahan pangan nabati adalah berbagai macam sayuran, buah, bebijian, umbi dan lainnya. Bahan pangan hewani kebanyakan diperoleh dari hewan pemamah biak dan unggas.


Bahan pangan alami merupakan sistem hayati yang dapat cepat rusak sesudah dipanen. Karena kebutuhan manusia akan makanan dan saat panen tidak terjadi dalam waktu yang sama, maka bahan pangan tersebut perlu diawetkan melalui pengolahan. Zat gizi adalah komponen pembangun tubuh manusia. Zat tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam tubuh, dan menyediakan energy bagi fungsi tubuh. Zat gizi dapat rusak ketika makanan diolah karena zat tersebut peka terhadap pH pelarut, oksigen, cahaya dan panas, atau kombinasinya.


Perwujudan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat didekati dari 2 aspek, yaitu memproduksi sendiri melalui usahatani, dan membeli dengan cara meningkatkan pendapatan dan daya beli (Suek,2012). Berikut adalah table yang menunjukkan kecukupan protein yang dianjurkan bagi penduduk Indonesia ;


Tabel tersebut tidak menggambarkan kewajiban konsumsi per hari. Energi yang dibutuhkan masing-masing orang tergantung pada kondisi fisik, aktivitas, dan jenis kelamin. Kebutuhan protein seseorang bisa lebih banyak atau bisa lebih sedikit, tergantung kebutuhan. Protein digunakan sebagi indicator karena protein merupakan zat pembangun tubuh.


Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1998 telah menetapkan standar energi ideal yang diharapkan yaitu sebesar 2.200 kkal/kap/hari di tingkat konsumsi dan 2.500 kkal./kap/hari di tingkat nasional.


Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia

Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa kondisi ketahanan di Indonesia cukup baik namun tidak dapat mengatakan bahhwa terdapat kemerataan karena mash banyak daerah atau wilayah yang memiliki masalah kelangkaan pangan.

Bertumpu pada batasan atau defenisi ketahanan pangan, terdapat empat komponen dalam memahami kondisi ketahanan pangan yakni : 1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan, untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; 2) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cdemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, sertaserta aman dari kaidah agama; 3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air; dan 4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Ada 5 karakteristik yang harus dipenuhi sebagai syarat ketahanan pangan masyarakat menurut FAO (1996) yaitu :
Kapasitas (capacity), kemampuan menyediakan (menghasilkan dan menyimpan) pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai
Pemerataan (equity), kemampuan ketersediaan pangan menjangkau seluruh keluarga, individu atau masyarakat
Kemandirian (self-reliance), mengandalkan kekuatan sendiri untuk memperoleh ketersediaan pangan sehingga mampu menghadapi fluktuasi pasar dan tekanan politik dari dalam dan dari luar
Keandalan (reliability), kemampuan meredam dampak variasi musima ataupun siklus tahunan, sehingga kecukupan ketersediaan pangan dapat dijamin setiap saat.
Keberlanjutan (sustainability), mampu menjaga keberlanjutan kecukupan sediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup.
Menurut Ofong (2008) ,apabila rumah tangga dapat emenuhi lima karakteristik di atas, maka dapat dikatakan rumah tangga tersebut tahan pangan. (Suek dan Seran, 2012)
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.

Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu.

Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk.

Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan teknologi pengolahan pangan sangat penting.


Kedaulatan Pangan

Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-sumber bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing-masing wilayah. Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim setempat, sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi d luar wilayah atau luar negeri.

Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk menentukan sejauh mana rakyat ingin menentukan dan mengatur sendiri kebutuhan pangannya. Trend produksi bahan pangan pokok untu propinsi NTT dari tahun 2008 – 2010 menunjukan adanya fluktuasi produksi yang cenderung berkurang. Berikut adalah table yang menunjukkan produksi bahan pangan pokok di NTT tahun 2008 – 2010.



Pengukuran produk pangan setara beras dilakukan dengan analisis komposisi bahan makan mengacu pada table Komposisi Pangan untuk Asia Timur (Lampiran 1) oleh Woot-Tsuen Wu, Ritva R. Butrum dan Floraluang Chang., 1972 (Suek dan Seran, 2011). Berikut adalah gambaran keteresediaan pangan perkapita setara beras untuk NTT pada tahun 2010 ;



Dengan mengetahui jumlah total ketersediaan pangan setara beras, selanjutnya dapat dihitung ketersediaan pangan per kapita setara beras yakni dengan rumus :
Ketersediaan pangan setara beras per kapita= (Jumlah keseluruhan produk pangan setara beras)/(jumlah penduduk propinsi NTT tahun 2010)

Dengan data jumlah penduduk sebanyak 4.683.827 jiwa (BPS NTT, 2011) maka diketahui bahwa ketersediaan pangan perkapita propinsi NTT adalah hanya sebesar 2,98 kg. Menurut Sayogjo (1988), masyarakat dengan tingkat penghasilan > 180 kg (setrara beras/kapita/tahun) adalah masyarakat yang dikategorikan paling miskin. Dengan kondisi sumber daya lokal pun, NTT masih berada pada kelas masyarakat paling miskin. Padahal, NTT terkenal dengan jagung sebagai pangan local, meski tidak semua kabupaten di NTT menjadikan jagung sebagai pangan lokal, namun terdapat bahan pangan lain seperti ubi jalar dan ubi kayu yang bisa dijadikan pengganti nasi. Masalah yang merupakan kendala bagi kedaulatan pangan adalah pola konsumsi masyarakt yang dimanjakan dengan beras. Kebijakan pemerintah di antaranya swasembada beras, program beras miskin, bantuan beras bagi korban bencana secara tidak langsung mengantar masyarakat bahkan di daerah pelosok untuk menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Hal ini sudah lama terjadi dan bahkan pemerintah terus melakukannya.


Ketahanan Pangan dan Ketahanan Nasional

Sejarah menunjukkan bahwa ketahanan pangan (food security) sangat erat kaitannya dengan ketahanan social, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, bahkan ketahanan nasional (national security) secara keseluruhan. Bagi Indonesia pembangunan ketahanan pangan harus berakar pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal.

Ada dua pilihan luas untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional yaitu swasembada pangan atau kecukupan pangan. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Di lain pihak, konsep kecukupan pangan adalah sangat berbeda dengan konsep swasembada pangan, akibat masuknya variabel perdagangan internasional. Dalam konsep kecukupan pangan, menuntut adanya kemampuan menjaga tingkat produksi domestik ditambah dengan kemampuan untuk mengimpor pangan agar dapat memenuhi kebutuhan (kecukupan) pangan penduduk. Di dalam perdagangan bebas, kedua pilihan tersebut di atas harus dapat dirumuskan secara hati-hati dan dipertimbangkan seluruh faktor produksi, pengadaan dan konsumsi pangan.
Ketahanan pangan di tingkat nasional merupakan prakondisi penting dalam memupuk ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada pangan dan stabilitas harga. Secara umum pemerintah berupaya menjaga stabilitas pangan (khususnya beras) yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar (floor price) dan harga langit-langit (ceiling price) yang ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar dan terhadap tingkat harga pedagang besar yang jauh lebih stabil lagi dari harga beras di pasaran internasional.


Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonymous, 2001).
Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan : ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan kualitas makanan dan nutrisi. Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian pendahuluan, tingkat kemandirian pangan Indonesia cukup baik. Hanya saja masalah aksesibilitas atau keterjangkauan pangan serta kualitas pola konsumsi yang tidak merata menyebabkan Indonesia belum mampu mencapai kondisi ketahanan nasional.

Salah satu strategi pencapaian ketahanan pangan adalah dengan menggunakan system kewaspadaan pangan dan gizi. Sistem Kewaspadaan pangan dan Gizi (SKPG) adalah system informasi yang dapat digunakan sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat. SKPG bertujuan memantau keadaan pangan dan gizi secara berkesinambungan, mengetahui lokasi yang mempunyai risiko rawan pangan, dan merumuskan usulan tindakan jangka pendek dan jangka panjang. SKPG dapat digunakan sebagai alat bantu pemerintah (pembuat kebijakan dan pengambil keputusan) dalam upaya melindungi masyarakat dari ancaman rawan pangan dan gizi. SKPG adalah suatu system yang berkesinambungan yang meliputi : penyediaan informasi pangan dan gizi, pengambilan keputusan, dan tindakan atau intervensi. Situasi pangan dan gizi merupakan suatu fenomena yang tidak mudah untuk diukur dan diinterpretasikan. Untuk itu perlu dicari indicator yang dapat memberikan gambaran (indikasi) tentang situasi pangan dan gizi. Situasi pangan dan gizi dapat dicerminkan oleh keadaan ketersediaan pangan, konsumsi pangan, serta status gizi masyarakat.

Hal-hal berikut dapat digunakan untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan ; pertama adalah sangat perlu untuk mengadopsi strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan berkelanjutan (sustainable development). Kedua adalah merupakan keperluan yang mendesak untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian dan pangan serta pembangunan perdesaan dengan fokus kepentingan golongan miskin. Dan ini berarti pertanian (pangan) harus menjadi mainstream dalam ekonomi nasional. Ketiga, sudah saatnya harus meningkatkan akses terhadap lahan dan sumberdaya pertanian dalam arti luas secara lebih bijaksana, termasuk menciptakan dan meningkatkan kesempatan kerja, transfer pendapatan, menstabilkan pasokan pangan, perbaikan perencanaan dan pemberian bantuan pangan dalan keadaan darurat kepada masyarakat.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Simpulan

Perwujudan ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting. Saat ini, ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rumah tangga walaupun pada tingkat nasionalnya baik. Masih bayak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini, kedaulatan pangan dapat menjadi salah satu pilar penentu keberhasilan program pencapaian ketahanan pangan yang mengarah pada ketahanan nasional.


Rekomendasi

Melihat kondisi yang sudah dipaparkan dalam makalah ini, tentunya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencapai kondisi tahan pangan diantaranya dari segi produksi pertanian, pembukaan lahan pertanian baru dan pertanian intensif untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan produksi, pembentukan lembaga keuangan untuk melayani kredit petani, dari segi keterjangkauan, memperbaiki sarana prasarana jalan untuk pengangkutan serta kemudahan pajak dan retribusi antar daerah, dari segi kualitas pangan, menyediakan puskesmas dan meningkatkan kinerja system pengawasan pangan dan gizi untuk memantau daerah-daerah rawan pangan.


Wisata Rohani Di Ujung Pulau Flores



Kota Larantuka bukanlah sebuah kota besar yang ramai, bukan pula kota yang sejuk dan punya daya tarik wisata yang menarik. Tidak banyak orang yang mengetahui keberadaannya. Namun bukan berarti kota ini tidak patut untuk dikunjungi. Adalah Larantuka, sebuah kota yang dapat menjadi salah satu tujuan ziarah rohani bagi umat nasrani. Di kota ini terdapat suatu perayaan mengenang sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus dengan cara yang berbeda dengan daerah lainnya. Di Larantuka, terdapat beberapa patung peninggalan sejak zaman penjajahan Portugis yang memang merupakan penyebar agama katolik di wilayah Flores. Katolik telah menjadi agama yang mayoritas dianut oleh penduduk asli pulau Flores termasuk Larantuka. Agama Katolik masuk di Flores pada tahun 1512, sehingga perayaan ini telah memasuki usia lebih dari lima abad. Yang unik dari perayaan paskah di Larantuka ialah adanya serangkaian kegiatan yang dimulai sejak Minggu Palem, hari dimana Tuhan Yesus diarak masuk ke Yerusalem, dilanjutkan dengan perayaan pada hari Rabu Trewa, Kamis Putih dan puncaknya pada jumad malam; hari Jumad Agung, seluruh umat dan peziarah melakukan prosesi mengelilingi kota mengarak patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Peti jenazah Tuhan Yesus) . Arak-arakan dimulai Dari dalam gereja, mengintari kota melalui jalan-jalan utama, hingga berakhir kembali ke gereja. Selama iring-iringan berjalan, para peziarah mendaraskan doan dan nyanyian-nyanyian untuk memuji kebesaran Tuhan. Mereka membawa serta lilin yang bernyala sambil terus berjalan mengikuti rute sambil merenungkan jalan salib Tuhan Yesus. Adapula beberapa sosok yang dimunculkan sengaja untuk mengingatkan bahwa sosok-sosok ini terlibat dalam peristiwa jalan salib Tuhan Yesus, seperti Nikodemus (Lakademu) serta Veronica yang membawakan lagu Ovos di tiap Armida (perhentian). Setelah perayaan jumad malam, seluruh rangkaian upacara yang disebut Semana Santa (Pekan Suci) dilanjutkan dengan misa malam paskah pada sabtu malam dan berakhir pada hari minggu misa paskah, hari kebangkitan Tuhan Yesus. Perayaan ini selalu mengundang banyak peziarah, tidak saja umat nasrani dari seluruh daratan Flores, tetapi juga dari berbagai daerah termasuk wisatawan mancanegara. Bahkan umat non nasrani juga turut terlibat dalam kegiatan ini, menunjukkan keharmonisan hubungan antar umat beragama di kota Larantuka. Perayaan ini berlangsung selama seminggu setiap tahun sekali setiap tahunnya.